Miss Terry



Rembulan yang tadi mengambang telah menghilang. Aku baru saja kembali ke kantorku dengan otot punggung yang sekaku bantalan rel kereta api. Aku telah bekerja semalaman, memeriksa tempat yang kemarin mengisahkan cerita yang sangat mengerikan. Kupikir secangkir kopi hangat bisa sedikit meredakan keteganganku. Sesaat ruangan menjadi harum setelah gemericik air yang mengepul menimpa cangkirku. Mataku segera melebar lagi setelah cairan pahit itu melewati kerongkonganku.

“Bagaimana dia?” Tanyaku kepada seorang temanku yang tampak terkantuk-kantuk.

Temanku mengisyaratkan “OK” tanpa bersuara sedikitpun, sambil menunjuk ruangan di samping ruangan kami. Aku mengernyitkan dahi lalu memasuki ruangan yang kini dijaga dengan ketat itu.

Mata indah kebiruan itu langsung menatapku begitu aku berada di dalam ruangan itu, wajah putihnya masih terlihat sedingin pagi ini.

“Bagaimana kabar Miss?” Kataku.

Dia hanya tersenyum, senyuman yang bisa membuat laki-laki di seluruh dunia jatuh dalam pelukannya. Aku mendekat lalu duduk di depannya, sehingga kami hanya terpisah oleh sebuah meja. Aku menatap jelas samudera yang luas membiru di kedua matanya, betapa cantiknya biadadari di hadapanku ini. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa dia baru saja membantai keluarganya sendiri. Ini gila, entah apa yang sebenarnya terjadi, kegilaan apa yang membuat dia harus melakukan hal itu, aku harus mencari tahu.

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Post a Comment