Si Anak Kancil
Malam yang seperti malam-malam sebelumnya, Si Anak Kancil selalu semangat ketika Ayahnya sudah tampak santai setelah seharian mencari makanan untuk keluarga kecilnya. Si anak kancil segera duduk di sebelah ayahnya yang menikmati cemilan pengantar malam.
“Ayah, ayo ceritakan lagi tentang kakek...” Pinta Si Anak Kancil dengan semangat.
“Oh, kamu mau dengar lagi?” Kata Sang Ayah
“Nak, Ayahmu kan baru saja mau istirahat, dia pasti lelah, masak sudah harus bercerita” Kata Ibu Kancil sambil membereskan sisa makan malam mereka.
“Yah... Ibu, aku kan mau dengar cerita...” Rengek Si Anak Kancil.
“Biarlah Bu...” Kata Sang Ayah.
Ibu Kancil hanya menggelengkan kepala lalu berlalu meninggalkan mereka untuk menyelesaikan tugasnya. Kemudian, Sang Ayah Kancil pun mulai bercerita, kali ini dia mencertiakan tentang Kakek Kancil yang mampu mengalahkan Buaya dalam jumlah banyak sendirian karena kecerdikannya. Si Anak Kancil dengan mata yang berbinar-binar mendengarkan setiap rangkaian kata yang keluar dari mulut Ayahnya dengan seksama. Cerita tentang kecerdikan Kakeknya itu membuat dia selalu bersemangat.
“Wah, Kakek hebat ya Yah... jika sudah besar nanti Aku ingin seperti Kakek, aku akan mengalahkan Harimau dan Buaya” Kata Si Anak Kancil Semangat.
“Tidak perlu menunggu besar, sekarang kamu sudah seperti Kakek” Kata Sang Ayah memuji anaknya.
“Jadi sekarang aku sudah bisa mengalahkan Buaya dan Harimau?” Tanya Si Anak Kancil.
“Kalo kamu bertemu Harimau atau Buaya, lebih baik kamu lari...” Kata Ibu Kancil tiba-tiba dari belakang.
“Hahaha... benar kata Ibumu” Kata Sang Ayah Kancil.
“Tapi, Kakek...”
“Itu hanya dongeng,sudah pergilah tidur supaya besok tidak kesiangan” Perintah Ibunya.
“Yah, Ibu...” Protes Si Anak Kancil.
“Turuti Ibumu, besok Ayah akan ceritakan cerita Kakek yang lain” Kata Sang Ayah Kancil.
Dengan berat hati Si Anak Kancil meninggalkan kedua orang tuanya dan menuju tempat tidurnya. Pikirannya terus membayangkan Kakeknya yang begitu cerdik dan hebat. Dalam hatinya dia benar-benar ingin seperti Kakeknya. Sementara itu Sang Ayah dan Ibu Kancil melanjutkan obrolan mereka tentang keluarga kecil ini.
“Musim kemarau ini sudah terlalu lama, makanan semakin sulit untuk didapatkan, mungkin besok aku akan pergi sedikit jauh ke timur dan pulang agak larut malam, kata Kerbau yang pergi kesana bebearapa hari ini, di sana masih banyak makanan untuk kita” Kata Sang Ayah.
“Tapi bukannya di sana berbahaya, banyak sekali binatang buas”
“Ya, itu resiko yang harus kita ambil, kalau tidak kita bisa kelaparan” Kata Sang Ayah Kancil.
“Baiklah, tapi Ayah harus hati-hati,” Kata Ibu Kancil dengan raut muka tidak rela.
“Ya, aku akan hati-hati” Kata Sang Ayah Kancil “Anak kita sudah mulai besar, tapi masih perlu banyak hal yang harus dia tahu, sebaiknya dia tidak pergi terlalu jauh dari rumah dulu, Oh, iya dia suka sekali mendengarkan cerita tentang Kakek Kancil, mungkin Ibu bisa menceritakannya jika aku terlambat pulang” Kata Sang Ayah Kancil.
Ibu Kancil hanya mengangguk pelan mendengar kata-kata Sang Ayah Kancil, lalu rumah itupun mulai hening. Dalam hati terdalamnya Ibu Kancil sangat cemas dengan keputusan Sang Ayah Kancil untuk pergi lebih jauh ke timur, tetapi kenyataan memang tidak bisa dipungkiri, kemarau kali ini membuat makanan sulit ditemukan di sekitar tempat tinggal mereka.
Pagi-pagi sekali sebelum anaknya bangun, Sang Ayah Kancil sudah berangkat. Ibu Kancil mengantarkannya dan memperhatikan sampai bayangan Sang Ayah Kancil menghilang. Dalam cemas dia hanya bisa berdo’a semoga Sang Ayah Kancil diberi keselamatan. Sementara itu, tak lama kemudian Si Anak Kancil terbangun dari tidurnya dan segera mencari Ayahnya, tetapi dia tidak bisa menemukannya.
“Ayah kemana Bu?” Tanya Si Anak Kancil kepada Ibunya.
“Ayahmu sudah berangkat mencari makanan” Sahut Ibunya.
“Kenapa Ayah pergi pagi-pagi sekali dan tidak membangunkanku” Protes Si Anak Kancil.
“Dengar Nak, musim kemarau ini Ayah harus bekerja lebih keras supaya kita punya makanan, jadi dia tidak sempat untuk berpamitan karena Ayah tidak ingin membangunkanmu” Kata Ibu Kancil dengan lembut.
Si Anak Kancil ingin sekali memprotes kata-kata Ibunya, tetapi dia ingat Ayahnya yang selalu berpesan untuk selalu menuruti nasehat Ibunya, makanya dia segera mengurungkan niatnya. Lalu dia pergi meninggalkan Ibunya yang sibuk membareskan tempat tinggal mereka. Seperti biasanya dia hanya bermain-main tidak jauh dari tempat tinggalnya, karena kalau dia pergi terlalu jauh, Ibunya pasti akan memarahinya.
Hari berlalu dengan cepat seperti biasa, senja hari segera menjelang, Si Anak Kancil duduk termenung di depan tempat tinggalnya. Seperti itulah yang dia lakukan sehari-hari, yaitu menunggu Ayahnya pulang. Tetapi hari ini sepertinya di luar kebiasaan, sampai hari menjadi gelap Sang Ayah juga belum terlihat bayangannya. Melihat Anaknya masih berada di luar, Ibu Kancil pun menyuruh Si Anak Kancil untuk masuk ke dalam rumah.
“Nak, hari sudah gelap cepatlah masuk” Kata Ibunya.
“Tapi Ayah belum pulang Bu, aku akan menunggunya sebentar lagi” Kata Si Anak Kancil.
Melihat Anaknya yang tidak mau beranjak itu, Ibu Kancil pun menghampiri Sang Anak kancil, lalu membelai kepala Anaknya itu sambil berkata.
“Ayahmu pasti pulang, sekarang mari ke dalam dulu, hari ini biar ibu yang bercerita tentang Kakek” Kata Ibunya membujuk Anaknya.
“Benar Ibu akan bercertia?” Kata Si Anak Kancil di jawab anggukan Ibunya.
Meskipun masih memikirkan Ayahnya tetapi akhirnya Si Anak Kancil menuruti ajakan Ibunya. Sesampainya di dalam, Ibunya memintanya untuk makan malam terlebih dahulu. Dengan berat hati Si Anak Kancil menuruti perintah Ibunya lagi, setelah itu Ibunya pun mulai bercerita tentang Kakek Kancil. Entah karena tidak mempunyai kemampuan untuk bercerita atau bagaimana, Si Anak Kancil tidak bersemangat mendengar cerita Ibunya yang membuat dia bosan, sampai akhirnya Si Anak Kancil tertidur.
Ibu Kancil harus membuat keputusan, jika tidak dia dan Anaknya tidak akan bertahan melewati musim kemarau ini.
“Nak, Ibu akan mencari makanan untuk kita, kamu harus tetap di rumah, jangan bermain terlalu jauh” Kata Ibunya.
“Aku ikut Bu” Kata Anak Kancil.
“Tidak, di luar berbahaya” Kata Ibu Kancil.
“Tapi Bu, Pokoknya Aku ikut” Rengek Si Anak Kancil.
“Tidak, Dengar Kamu sudah besar, kamu harus bisa membantu Ibu, jadi, jaga rumah, supaya tidak di tempati oleh binatang lain, Ibu akan segera kembali sebelum tengah hari” Kata Ibu Kancil tegas.
Meskipun kecewa dengan keputusan Ibunya, Si Anak Kancil tidak berani membantah perintah Ibunya. Dia hanya bisa menatap Ibunya yang menghilang di ujung jalan. Dan kini tinggalah Si Anak Kancil sendirian di rumahnya. Karena sendiri Si Anak Kancil merasa hari yang dilaluinya kali ini benar-benar berjalan dengan lambat dan dia mulai merasa bosan.
Ternyata ketika tengah hari, Ibu Kancil belum juga pulang. Hal itu membuat Si Anak Kancil kecewa dan sedih, dia kecewa karena Ibunya telah mengingkari janjinya untuk pulang sebelum tengah hari. Karena rasa bosan bertambah dengan rasa kecewanya, Si Anak Kancil pun melanggar pesan ibunya untuk tetap di rumah. Dia mulai berjalan-jalan, awalnya hanya mengelilingi wilayah sekitar tempat tinggalnya, tetapi kemudian melebar sampai akhirnya dia tidak tau berada di mana.
Si Anak Kancil bingung, dia tidak tahu harus kemana, dia juga tidak tahu arah jalan pulang, dia merasa dia hanya berjalan berputar-putar. Sementara itu meskipun cuaca masih terasa sangat terik, namun senja hari sepertinya akan segera menjelang. Si Anak Kancil panik, dia ingin pulang tetapi tetap tidak tahu harus kemana, dia takut dimarahi oleh Ibunya. Sampai akhirnya hari benar-benar menjadi gelap. Dengan rasa putus asa, Si Anak Kancil beristirahat di bawah sebuah pohon besar. Dia meringkuk dan mulai menangis. Dia sangat ketakutan, terlebih ketika malam menyampaikan suara-suara auman yang menyeramkan dari arah yang jauh namun terasa dekat bagi Si Anak Kancil. Dia mencoba mengingat kata-kata Ayahnya bahwa dia adalah anak yang hebat dan pemberani, tetapi itu tidak membuatnya berhenti gemetar dan terus menangis sampai akhirnya tertidur.
Sinar Matahari yang hangat membangunkan Si Anak Kancil, matanya berkereyip. Dia terheran-heran karena berada di lingkungan yang tidak dia kenali sampai akhirnya sadar bahwa dia telah tersesat. Dia bangkit dari tempatnya meringkuk, lalu mulai melihat tempat sekitarnya. Dia masih belum tahu jalan untuk pulang, Si Anak Kancil lalu meninggalkan pohon besar itu, berjalan dan berusaha menemukan jalan untuk pulang. Sepanjang perjalanan dia membayangkan bahwa Ibunya akan benar-benar akan memarahinya.
Setelah cukup lama berjalan Si Anak Kancil mulai merasa haus, dan perutnya mulai kelaparan, tetapi dia tidak bisa menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Tiba-tiba dia mendengar suara air tersibak dari arah depannya. Didorong rasa hausnya dia segera berlari menuju arah suara tadi, tetapi setelah berhasil menemukan apa yang dicarinya, dia segera menghentikan larinya. Yang ada di hadapannya sungguh di luar harapannya. Yang dia dengar tentang air tadi ternyata hanya sebuah kubangan air yang berlumpur. Yang membuat dia ketakutan adalan, 5 sosok besar yang bergumang dengan air berlumpur tersebut “Buaya”. Mereka jauh lebih menyeramkan dari pada yang dia bayangkan.
Melihat Si Anak Kancil, Buaya – Buaya lalu bergerak ke pinggir menuju ke arah Si Anak Kancil berada. Tatapan mata Buaya itu begitu menakutkan menggambarkan siap untuk memangsa, sehingga membuat kaki Si Anak Kancil bergetar hebat. Lalu dia teringat cerita Ayahnya tentang bagaimana Kakeknya mengalahkan para Buaya. Dengan memberanikan diri, Si Anak Kancil pun berteriak.
“Hai Buaya, a..aku da tang kemari karena utusan Raja, Raja Sulaiman!” Teriak Si Anak Kancil Tergagap. Namun sepertinya Buaya - buaya itu tidak mendengarkan teriakannya dan terus bergerak maju.
“Aku diutus, diutus untuk, un tuk meng... menghitung kal..!”
Belum selesai kata-kata Si Anak Kancil, Buaya yang paling besar sudah bergerak dan berlari siap untuk menanggkapnya. Si Anak Kancil tersentak, tetapi kakinya seolah menancap di tanah. Dia ingin berlari tetapi tidak bisa, dia dicekam rasa ketakutan yang hebat hingga akhirnya pasrah melihat Buaya yang bergerak dengan cepat ke depan. Di detik-detik Buaya besar itu membuka mulut dan meloncat ke arah Si Anak Kancil, tiba-tiba dari semak-semak muncul bayangan berkelebat ke arah Si Anak Kancil dan menabraknya ujung moncong Buaya.
“Ayo lari!!!”
Sedetik kemudian, Si Anak Kancil pun berhasil lolos dari sergapan Sang Buaya besar itu, dan berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat berbahaya tadi. Sampai akhirnya kehabisan nafas dan berhenti tepat di bawah pohon besar. Dia lalu mengatur nafasnya dan beristirahat. Namun tiba-tiba dia menyadari sesuatu, dia mengenali suara yang menyuruhnya lari tadi, dia benar-benar sangat kenal, itu tadi adalah suara Ibunya. Si Anak Kancil lalu menengok ke arah dia tadi berlari dan berharap melihat Ibunya benar-benar berada di belakangnya. Tetapi, setelah lama menatap dia tidak melihat apa-apa. Si Anak Kancil bingung, dia ingin kembali tetapi tidak berani. Dia ingin pergi tetapi khawatir dengan Ibunya.
Si Anak Kancil mulai menangis dengan derasnya dan menyesali semua yang telah terjadi. Dia sadar bahwa Ibunya mungkin sudah dimakan oleh Buaya-buaya tadi. Ketika dia mulai meringkuk lemas, tiba-tiba dari arah dia menatap, terlihat sosok terhuyung-hutung berjalan kearah Si Anak Kancil.
“Ibu...” Teriak Si Anak Kancil
Si Anak Kancil berlari menyambut Ibunya yang terluka di kakinya. Darah mengalir dari luka itu, tetapi dengan wajah yang pucat Ibunya tersenyum bahagia. Ibu dan Si Anak Kancil lalu beristirahat di bawah pohon besar sambil Ibu Kancil membersihkan dan mengobati lukanya sendiri.
“Maafkan Aku Ibu” Kata Si Anak Kancil.
Ibu Kancil hanya mengangguk dan tersenyum lalu membelai anaknya itu. Setelah merasa istirahatnya cukup, Ibu Kancil pun berkata.
“Ayo kita pulang, mari bantu Ibu berdiri”
Si Anak Kancil membantu Ibunya berdiri dan memapahnya untuk berjalan pulang. Sepanjang perjalanan Si Anak Kancil terus merasa bersalah, dia menyesal gara-gara tidak menuruti perintah Ibunya untuk tetap berada di rumah, akhirnya menyebabkan Ibunya terluka. Diapun berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Rupanya Si Anak Kancil pergi meninggalkan rumah lumayan cukup jauh, mereka harus beberapa kali istirahat hingga akhirnya sampai di rumah tepat menjelang senja. Ketika sampai di rumah, Si Anak Kancil terlonjak gembira ketika mendapati Sang Ayah Kancil sudah berada di rumah. Namun Sang Ayah tampak pincang dan sulit berjalan. Rupaya kakinya patah, setelah berjuang mencari makanan dan tidak sengaja terinjak oleh salah satu rombongan Sapi yang panik di serang oleh Harimau. Walaupun begitu, keluarga kecil ini kembali lengkap, dan hal itu membuat Si Anak Kancil bahagia.
0 komentar:
Post a Comment