Tepat Waktu




Aku cepat-cepat mematikan komputerku dan mengemasi meja kerjaku. Sudah seharian aku berusaha membereskan seluruh tugas-tugasku. Aku bahkan mengorbankan waktu istirahat makan siangku agar tidak harus lembur. Jam 5 sore tepat. Hari ini aku ada latihan dengan band baruku yang kemarin baru saja menerima aku sebagai Vocalist-nya. Aku senang dan semangat sekali, karena setelah sekian lama memimpikan memiliki sebuah Band, akhirnya aku mendapatkannya. Aku menuruni tangga kantor dengan sedikit berlari.

“Brakk!!!”

“Aduh...”

Aku terkejut sekali, aku menabrak seseorang. Dan “Ah...Sial” Aku menabrak Diandra, cewek sekantor yang selama ini membuat aku selalu ingin datang ke kantor lebih awal dan mengabaikan rasa lelah karena kuliah malamku.

“Eh, maaf maaf... maaf ya” Kataku.

“Hati-hati dong Vin... jadi berantakan kan file gue” Kata Diandra.

“Maaf, sini gue bantuin rapiin deh” Kataku salah tingkah.

Diandra memunguti kertas-kertasnya yang berserakan di lantai. Aku tidak tinggal diam, sesigap mungkin aku merapikan kertas-kertas itu. Anganku langsung melayang, membayangkan iklan atau adegan film yang mirip dengan kejadian yang sedang aku alami. Aku cowok keren yang bertemu dengan cewek cantik dan sexy, kemudian si cewek menjatuhkan sesuatu, lalu kami bersamaan memungutnya dan akhirnya kami saling pandang. “halah” Aku jadi geli sendiri, bayanganku terlampau jauh.

“Thank’s ya” Kata Diandra.

Aku hanya melongo melihat cewek idolaku itu berbalik dengan cepat, seolah-olah kejadian tadi hanyalah hal yang biasa dan tidak perlu untuk dibahas. Senyumnya yang irit tapi membuat aku cukup berdebar segera menghilang dibalik pintu ruang HRD. Aku masih tertegun, namun segera tersentak karena Handphone di kantung celanaku bergetar hebat. Aku mengeluarkan Handphone­-ku “First Jam Section” tertera di layar Handphone-ku. Oya, hampir saja aku lupa dengan tujuanku untuk pulang cepat. Aku segera berjalan dengan cepat meninggalkan kantorku yang ternyata juga sudah mulai sepi.

”Wedew” Jalanan Jakarta di sore hari memang selalu padat. Dan bagi karyawan yang menggunakan angkutan umum seperti aku, wajib membawa Stock kesabaran lebih banyak, karena untuk mendapat angkot yang kosong itu jelas-jelas sebuah keberuntungan. Kali ini kesabaran yang kugunakan benar-benar harus melampaui kuota harian yang kusediakan. Karena meski aku telah berdiri di tempat biasa angkot mangkal selama satu jam, tetapi tak satupun memberiku tumpangan. Aku melirik jam tanganku, sudah jam enam, satu setengah jam lagi dari jadwal latihan Band-ku. Aku tidak ingin terlambat di latihan pertamaku bersama Band.

“Lho, masih disini?” Aku menoleh dan terkejut sekali “Diandra”

“Eh iya Dra, belum dapat angkot nih...” Kataku.

“Wah penuh semua ya? Aduh gimana nih gue buru-buru banget nih” Kata Diandra.

“Memang ada apa Dra, kok buru-buru?” Kataku basa-basi.

“Gue ada janji ketemuan sama teman... Aduh mana ojek juga ga ada lagi” Katanya sambil terus melongokkan kepalanya untuk memperhatikan bahwa ada angkot yang kosong. “Eh, bukannya lu tadi juga buru-buru Vin?” Katanya lagi.

“Mmm... I.. Iya sih...!” Kataku.

“Kita naik taksi aja yuk, tuh ada yang lagi berhenti” Kata Diandra.

Aku menoleh ke arah taksi berwarna biru muda yang sedang berhenti. Aku sebenarnya enggan, karena naik taksi terlalu mahal untukku, tetapi entah mengapa aku tidak bisa melawan gengsiku di hadapan cewek idolaku ini. Akhirnya aku hanya menurut saja. Kami melambai ke arah taksi itu dan taksi itu segera menghampiri kami.

“La Piazza ya pak” Kata Diandra yakin setelah kami berada di dalam taksi “Eh, Vin lu kearah mana ya?” Katanya setelah tersadar belum bertanya tujuanku.

“Gue ke Jatinegara sih, tapi ga apa-apa deh, gw anter lu ke La Piazza dulu” Kataku.

Aku sebentulnya agak takut, kalo-kalo nanti aku akan datang terlambat. Ya, dari Sunter, taksi kami harus ke Kelapa Gading dulu mengantar Diandra, lalu baru mengantar aku ke Jatinegara. Tetapi aku tidak ingin terlihat tidak perhatian kepada Diandra, bagaimanapun aku ingin membuat Diandra terkesan kepadaku, sehingga mungkin suatu saat aku bisa mengajaknya jalan atau hanya sekedar nonton bareng. Rupanya yang kutakutkan hampir mendekati kenyataan. Antrian mobil untuk masuk Gerbang Tol Podomoro ditambah dengan proyek Fly Over, membuat taksi kami berjalan tersendat-sendat. Kulihat Diandra menjadi sangat gelisah.

“Aduh... gimana nih” Katanya panik sambil bolak-balik melihat handphonenya.

Setengah jam lagi dari jadwal latihanku dan kami masih terjebak padatnya jalan. Tiba-tiba di sisi jalan, aku melihat seorang tukang ojek yang tampaknya baru berhenti dan bersiap mangkal lagi. Ingin rasanya aku segera keluar dari taksi dan meminta tukang ojek itu mengantarkanku. Tetapi aku merasa tidak enak dengan Diandra yang semakin gelisah saja.

“Pak, pak, pak, stop pak” Kata Diandra “Vin, gue turun sini ya, gue mau naik ojek saja, ini ongkos taksinya” Kata Diandra.

“Oh, gak, gak usah Dra, biar gue yang bayar, cepetan keburu kabur tuh tukang ojeknya” Kataku.

“Thank’s ya Vin” Kata Diandra.

Tanpa berkata lebih banyak lagi Diandra langsung membuka pintu taksi dan segera menghampiri tukang ojek yang tadi aku perhatikan. Akhirnya akulah yang benar-benar harus membayar ongkos taksi itu. “Yah, ini pengorbananku, suatu saat kamu akan memberikan hatimu padaku” Pikirku. Walaupun tetap saja ada perasaan tidak rela melihat angka yang tertera di Argo Taksi tersebut. Aku tidak ingin terlalu lama terjebak dalam Taksi yang angkanya terus bergerak untuk menguras dompetku, sementara kami tidak kemana-mana. Makanya ketika aku melihat tukang ojek lagi, aku memutuskan untuk turun dari taksi. 150 ribu rupiah “Arrgh...” Sebanding dengan perjalanan bersama cewek cantik idolaku itu.

 Wah kalo dikasih motornya Valentino Rossi, tukang ojek ini pasti bisa jadi juara dunia MotoGP. Bagaimana tidak, hanya butuh sepuluh menit aku sudah memasuki wilayah Jatinegara. Aku melirik jam tanganku, masih ada waktu 10 menit lagi.

“Brrakk...”

Aku merasa dadaku sesak, dan tanganku nyeri. Rupanya aku terlempar dari motor. Samar-samar kulihat di depanku, di samping dua motor yang bertumpuk, dua orang laki-laki saling pukul. Walau sedikit pusing, aku berusaha bangkit untuk mencoba melerainya. Tetapi yang terjadi sungguh diluar dugaan, beberapa orang tampak menyerbu ke arah kami. Melihat hal itu, tukang ojek itu segera mengambil motornya dan kabur. Sementara aku yang masih pusing terpaksa terduduk lagi. Tak lama kemudian banyak orang yang berkerumun, dan seseorang mengangkat kerahku.

“Eh kalo naik motor ati-ati lu...” Katanya.

“Ma.. Maaf bang saya penyewa, itu tadi tukang ojek” Kataku terbata.

“Eh jangan, mengelak ya” Ancamnya.

Hampir saja bogem mentah mendarat di wajahku kalo saja orang itu tidak dicegah. Rupanya ada orang yang lebih dewasa memberi saran untuk mengintrogasiku dulu sebelum benar-benar memukuliku.

“Benar kamu ini penyewa ojek” Kata orang itu.

“Benar pak” Kataku grogi.

“Coba buktikan” Katanya lagi.

Aku segera mengambil tasku dan menunjukkan beberapa perangkat kerjaku, laptop, buku, dan sebagainya. Aku juga membuka jaketku dan memperlihatkan pakaian kerjaku. Mereka memperhatikan dengan seksama. Tiba-tiba orang yang tadi berkelahi dengan tukang ojek tadi menyeruak dan melihat kearahku. Aku semakin grogi melihat dia tampak masih menahan marah dengan terengah-engah.

“Eh lu ga apa-apa kan?” Katanya tiba-tiba “Memang dasar tukang ojek sialan tuh, sori ya” Katanya “Udah bang, dia ga salah, tukang ojek itu yang ugal-ugalan” Katanya lagi kepada orang yang mengintrogasiku, aku menjadi lega mendengar perkataannya.

“Oh iya , makasih ya bang” Kataku.

Orang-orang itu lalu berpencar, meninggalkan aku sendiri menahan rasa gemetarku. Sikuku masih terasa nyeri, dan kepalaku terasa berat. Eh, pantesan berat, helm tukang ojek itu masih nangkring di kepalaku. Ini namanya naik ojek gratis, maksudnya bayar pake nyeri, terus dapat bonus helm. Yah tidak apa-apalah, aku bersyukur karena aku tidak terluka. Beberapa saat kemudian aku teringat dengan tujuanku ke Jatinegara. Aku melirik jam tanganku, sial, lima menit lagi. Aku jadi panik. Rumah Inzonk, Drummer Band-ku yang sekaligus Studio tempat kami akan latihan, masih lumayan jauh. Untuk sampai lima menit mungkin aku harus berlari, tetapi tidak ada pilihan, karena memang tidak ada ojek apalagi angkutan umum.

Aku bergegas, tetapi aku hanya berjalan lebih cepat. Aku tidak ingin dikira maling jika aku tetap memaksakan diri untuk berlari. Sesekali aku berlompatan kecil demi berjalan lebih cepat, keringat benar-benar membasahi bajuku, nafasku sampai ngos-ngosan. Aku tidak perduli dengan beberapa orang yang melihat heran kepadaku. Tekadku untuk tiba tepat waktu benar-benar mengalahkan rasa maluku. Setelah benar-benar menguras tenagaku, akhirnya aku sampai juga di depan pagar rumah Izonk. Aku berhenti sejenak dan mengatur nafasku. Betisku rasanya sudah mau pecah saja. Sesaat setelah nafasku mulai mereda, aku memencet bel yang berada disamping gerbang.

“Nyari siapa mas?” Kata mbak-mbak yang pastinya adalah pembantunya Izonk.

“Izonk nya ada mbak?” Kataku.

“Oh temannya Mas Izonk ya? Mari silahkan masuk kalau begitu, sudah ditunggu di atas” Katanya. “Wah aku bakalan malu nih karena datang mepet sekali” Pikirku.

Aku mengikuti mbak-mbak itu, lalu dia menunjukkanku ke arah tangga. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya, lalu menaiki tangga.

“Hai, Vinooo... gimana kabar bro? Kenapa keringetan begitu lu? Habis marathon?” Sambut Izonk ketika aku sudah sampai atas.

“Baik, wah sori tadi macet banget, loh yang lain mana?” Kataku ketika mendapati ruangan itu hanya berpenghunikan Izonk seorang. Aku juga tidak menceritakan kejadian yang baru saja aku alami.

“Tenang yang lain juga belum sampai kok” Kata Izonk santai.

Izonk mempersilahkan aku untuk duduk santai dulu dan melepaskan lelahku. Kemudian pembantunya datang memberikan minuman kepadaku. Setelah aku meneguk minuman itu Izonk segera memulai percakapan. Obrolan yang dia mulai diluar perkiraanku, bukan tentang Band atau Musik, melainkan tentang hal yang lainnya, Bola dan Cewek. Aku hanya bisa mengikuti arah pembicaraannya tanpa bisa mengajukan protes “Hei aku kesini untuk latihan Band!” Tak lama berselang, Adit, sang Bassist datang dan menambah durasi obrolan ngalor-ngidul itu.

“Eh, lu kemarin pergi sama sapa Zonk?” Kata Adit.

“Ah lu mau tahu aja?” Balas Izonk.

Lalu pembiacaran tentang cewek itu berlangsung lebih lama lagi. Aku merasa agak kecewa karena pengorbananku untuk datang tepat waktu yang benar-benar luar biasa hari ini ternyata sia-sia.

“Oh iya, Ario sama Lessy kok belum datang ya?” Kataku coba mengalihkan perhatian mereka berdua.

“Santai aja Vin, paling-paling mereka lagi ngurusin gebetannya” Kata Adit.

Dan sekali lagi obrolan tentang cewek dan kelakuan-kelakuan mereka menjadi bahan candaan diantara keduanya, aku hanya bisa ikut-ikutan tertawa tanpa tahu apa sebenarnya yang mereka maksudkan. Durasi obrolan itupun semakin panjang, sampai jam 10 malam.

“Eh sori gue tadi harus ikut Ario dulu jemput ceweknya” Kata Lessy yang baru saja muncul dari tangga.

“Nah terus Ario mana?” Tanya Izonk.

“Tuh dibawah lagi sibuk sama cewek barunya, bentar lagi juga naik” Kata Lessy

“Dasar PK tuh bocah” Kata Adit.

“Iya, sialan, gue harus ke La Piazza dulu nganterin dia” Kata Lessy.

Tak lama kemudian Ario menampakan diri. Dia tampak sibuk meminta seseorang untuk ikut naik ke ruangan dimana kami berada.

“Sori-sori, gue tadi harus jemput cewek gue dulu. Ya, mau gue kenalin, biar besok-besok gak sungkan kalo pas kumpul-kumpul bareng kalian” Katan Ario, lalu dia kembali menengok kearah tangga “Sini sayang kenalan dong sama temen-temen Band aku” Kata Ario kepada seseorang yang tampaknya masih berada di tangga.

Lalu munculah seorang cewek dari arah tangga. Aku benar-benar terkejut ketika mengetahui siapa cewek itu. Ya, aku sepertinya kenal dengan cewek itu. Bukan, bukan sepertinya, Aku benar-benar kenal dengan cewek yang bersama dengan Ario itu. “Diandra” Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Ternyata cewek yang selama ini aku kagumi adalah pacar teman se-Band-ku sendiri. Diandra juga tampak terkejut melihat aku, tetapi dia berusaha untuk bersikap wajar-wajar saja.

“Oh iya kenalkan ini Diandra, cewek gue” Kata Ario.

Seisi ruangan segera berubah menjadi sedikit lebih heboh karena masing-masing berebut untuk menyalami Diandra yang memang cantik itu, kecuali aku tentunya. Tetapi akhirnya kesempatan itu datang juga kepadaku

“Hai Diandra... “ Sapaku dengan getir ketika tangan kami bersalaman.
“Hai Vino...” Balasnya dengan manis.

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Post a Comment